LELAKI ZENITH: Pentigraf
Azenath

Azenath


Seperti sore kemarin, sore ini juga ia tidak ingin dilihat sedih oleh siapapun. Ia sepertinya sadar. Musim semi pada tahun ini, akan datang sedikit terlambat. Atau bahkan tidak sama sekali. Maka dikumpulkannya baju baju dan niqab yang sudah usang untuk dijahit dan diperbaiki kembali. Tiba-tiba seorang lakai-laki gagah menghampirinya. Kemudian duduk diantara sorot matanya yang kelelahan.

"Azenath" lirih laki-laki itu.

"Abang, sudahlah. Tak perlu dijelaskan. Jika memang itu sudah ketentuan ALLOH. Nikahilah dia" Suaranya mendayu. Matanya nampak semakin lelah. Tapi sore ini. Ia benar-benar tidak ingin terlihat sedih oleh siapapun.




2019/

Januari, seharusnya musim telah berganti..

Januari, seharusnya musim telah berganti..


Airish yang lembut, tak akan ada asap yang menggangu pernapasan bila kita sadar bahwa api yang kita tungkukan itu adalah keseimbangan musim dingin. Dan sepertinya, persaan terlalu belia untuk kita jadikan alasan mengapa kita harus saling memerhatikan. Seorang guru, tidak wajar bila hanya siswa yang berprestasi saja yang harus diperhatikan. Seorang ibu, atau ayah sangat tidak wajar bila si bngsu saja yang harus diberikan kasih sayang lebih. Begitu juga kita, dengan usia perjumpaan yang masih belia begini, sangat aneh bila perasaan yang kita kambing hitamkan ketika pada malam-malam kita sering saling bertanya kabar.

"Tetapi Januari, seharusnya musim telah berganti" katamu meninggikan suara.

"Ah, mengingat cuaca yang tak bisa kita ditebak begini. Apakah salah bila kehangatan kita jaga dengan cara-cara berbeda?" Tanyaku kembali




2019/

Perahu Kertas Buat Aisy

Perahu Kertas Buat Aisy


Jika diizinkan, Aisy ingin menakhodai perahunya sendiri ke samudra itu. Tapi usianya masih belia. Dan langit yang tergelar di atasnya itu tidak peduli Ia keturunan siapa. Langit itu akan membingungkan siapa saja yang tak bersahabat dengannya. Terlebih lagi bila Dzulhijjah tiba. Samudra Hindia ini berbeda dengan samudra yang menggulung Yunus ke perut ikan. Belajar membaca arah angin kadang lebih didengarkan ALLOH dari pada nekat memasrahkan keadaan.


"tetapi Bu" hardik Aisy tak berterima.

"Aisy kekasih ayah dan Ibu. Teruslah sisir rambutmu yang ikal. Sementara menunggu habis perkalian demi perkalian. Sabarlah membentangkan buku bukumu sehabis makan dan shalat malam" Kata ibu kepada Aisy, sembari mebenamkan mantra ke ubunnya




2019/

Ke tepian petang ia berlalu. Kemudian Menghilang

Ke tepian petang ia berlalu. Kemudian Menghilang


Ia berjalan ke tepian petang yang dingin. Aku melihat lambaian punggungnya yang perlahan gelap. "Dik" lirihku tak didengarkan.

Perempuan berkacamata bening itu, terus berjalan. Di sisa sisa hujan. Langkahnya mantap tanpa menyisakan beban. Atau kenangan kepada siapapun. Ia juga kubur di jejak jejak belakang harapnya yang malang.

Petang semakin tua. Tak ada bias jawaban yang kudengar menyahut. Aku lirihkan panggilan sekali lagi. "Dik" lirihku yang itu, masih tak didengarkan




2019/

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *